Kekerasan yang terjadi Tidak Dapat Dibenarkan
Saya sangat menyayangkan rangkaian kerusuhan dan kekerasan di Jakarta pada 21 sampai 22 Mei yang lalu. Sebagaimana diberitakan luas di berbagai media massa, terdapat 8 orang meninggal dunia, ratusan mengalami luka-luka, puluhan gedung dan sarana publik rusak dan sebagainya. Apapun alasannya, kekerasan tidak dapat dibenarkan.
Melihat wacana-wacana di media sosial, patut juga disayangkan betapa minimnya perhatian “orang terdidik” terhadap peristiwa ini. Di ruang publik tersebut sangat jarang ditemukan wacana kritis tentang aspek HAM menyangkut peristiwa ini. Tampaknya kebanyakan sedang terperangkap di dalam dua kotak. Debat yang dibangunpun dapat diterka dengan mudah, yakni pilih Jokowi atau Prabowo, mendukung atau menolak, membela atau menyalahkan, dan memuji atau mencibir. Lagipula dengan selisih perolehan suara sekitar 11 %, maka menjadi masuk akal untuk memahami betapa rentannya masyarakat Indonesia untuk dikotak-kotakkan sejak saat ini dan mungkin lima tahun kedepan. Apalagi jika dibumbui dengan propaganda bohong dan simbol-simbol primordialisme, suasana berpotensi semakin kacau. Sekarang saja pihak yang kalah membangun narasi terzolimi, sementara pihak yang menang merasa di atas angin.
Oleh karena itu, saya tidak ingin ikut-ikutan terjebak dalam pengkotak-kotakan tersebut. Bagimanapun, memahami realitas politik Indonesia tidaklah mudah. Pertarungan kekuasaan yang sedang terjadi juga tidaklah sesederhana mengarahkan jari telunjuk kearah dua orang yang sedang berdiri di atas pentas yakni Jokowi dan Prabowo. Ya memang, dalam politik formal, apa yang sedang kita saksikan adalah pertarungan antara kedua kubu tersebut melalui mekanisme pemilu. Namun, politik tidaklah sesederhana itu. Para aktor dan berikut kepentingannya juga beragam. Mereka bisa dalam entitas bisnis, militer, agama, golongan dan sebagainya. Mereka bisa menumpang di kedua kubu baik yang menang maupun kalah. Mereka mengendalikan politik dari balik pentas atau layar demokrasi untuk kepentingan akumulasi kekayaan dan kekuasaan (informal politics). Dalam perspektif politik kritis, hal-hal yang tidak nampak itulah politik yang sebenarnya (informal politics is the real politics). Di belakang pentas, para aktornya sedang melakukan segala upaya demi memenangkan pertarungan.
Anda mungkin sedang berada di kubu yang kalah. Untuk itu anda tidak perlu terbakar amarah kekecewaan yang berkepanjangan. Sebaliknya, anda saat ini sedang berada atau memihak kubu yang menang, maka anda perlu menyadari bahwa kekuasaan yang sedang anda puja saat ini berpotensi melanggar hak-hak anda di masa yang akan datang. Dengan kata lain, menang dan kalah hanyalah sebatas hasil akhir dari pertarungan kekuasaan. Pertarungan juga antara yang sudah berkuasa atau belum berkuasa. Maka keduanya sama saja bukan?. Sama-sama perlu dikritisi dan diawasi. Seperti kata John Emerich Edward Dalberg-Acton, seorang sejarawan, politikus dan penulis asal Inggris abad ke-19, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, great men are almost always bad men”. Terjemahan bebasnya kira-kira begini; kekuasaan pada dasarnya memang punya sifat menindas dan korup jika absolut. Pemimpin besar juga berpotensi bertindak buruk. Oleh sebab itu, saya percaya bahwa supaya hak asasi kita tidak dilanggar, maka awas dan kritisilah terhadap kekuasaan karena disitulah sebenarnya letak tugas kita.
Nah, menyangkut kekerasan di Jakarta silam, disini saya mencoba memakai perspektif Hak Asasi Manusia. Standar dan mekanisme Hak Asasi Manusia (HAM), mewajibkan negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Penghormatan terhadap HAM salah satunya adalah jaminan bahwa aparat negara (TNI dan Polri) bisa menahan diri dari segala tindak kekerasan ketika berhadapan dengan masyarakat sipil. Negara, juga berkewajiban untuk melindungi setiap individu dari dari segala perlakuan yang kejam dan merendahkan nilai-nilai kemanusiaan baik yang dilakukan oleh aparat negara sendiri maupun aktor ketiga selain aparat negara. Selain itu, negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak asasi manusia, diantaranya dengan memastikan bahwa hukum dapat ditegakkan demi pemenuhan keadilan.
Menurut saya, peristiwa yang berujung pada hilangnya nyawa, luka-luka dan pengrusakan mengindikasikan aparat kepolisian masih gagal dalam menjalankan fungsinya dalam menghormati dan melindungi hak asasi manusia. Patut juga dipertanyakan sejauh mana kepolisian patuh terhadap Peraturan Kapolri (Perkapolri) nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian dan Perkapolri Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Dari berbagai kasus sebelumnya, kedua peraturan internal kepolisian tersebut masih seperti macan kertas.
Selain itu, tindakan Kementerian Komunikasi dan Informasi yang sempat membatasi akses terhadap media sosial berpotensi melanggar hak atas informasi dan kebebasan berpendapat. Dalil bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mencegah penyebaran hoax terkesan sangat subjektif bagi publik dan tidak cukup kuat untuk membenarkan tindakan tersebut. Tanpa ada penjelasan dan mekanisme pertanggungjawaban yang jelas terhadap publik, dikuatirkan tindakan semacam ini berpotensi akan terulang ke depannya.
Jika kita mencintai kemanusiaan, mari sama-sama menyerukan supaya tragedi ini diusut tuntas sehingga terang kepada publik dan memenuhi keadilan. Semua pihak yang terlibat hendaknya diproses secara hukum tanpa pandang buluh. Kepolisian juga harus membuka secara terang sejauhmana pelaksanaan kedua aturan internal tersebut di atas dijalankan. Kita juga butuh institusi hukum yang imparsial, profesional dan bebas dari bias kepentingan politik supaya kasus ini dapat dituntaskan.
0 Response to " "
Posting Komentar